N250, Pesawat Kebanggaan Indonesia yang telah mati

N250, Pesawat Kebanggaan Indonesia yang telah mati

Ingat gak, tanggal 10 Agustus 1995? Hari itu, pesawat N250 buatan Indonesia terbang perdana. Wah, rasanya kayak mimpi jadi kenyataan ya? Itu tuh, mimpi besar BJ Habibie, sang visioner teknologi, buat bikin Indonesia jagoan di dunia penerbangan. Sayangnya, mimpi ini jalannya berliku banget, kayak naik roller coaster, sampai akhirnya… ya, gitu deh.

N250 itu intinya mimpi Habibie buat pakai teknologi demi kemajuan bangsa. Pesawat 50 kursi ini, hasil karya anak bangsa, awalnya lancar jaya. Tapi, setahun kemudian, pesawat kargo CN 235 jatuh pas uji coba. Ditambah lagi, krisis ekonomi 1998 bikin Presiden Soeharto lengser, dan Habibie yang naik jadi presiden terpaksa ngerem proyek ini.

Kisah N250 yang Penuh Lika-Liku

Balik lagi ke N250, pas krisis 1998, Indonesia dapat bantuan dana talangan dari IMF. Salah satu syaratnya, IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia/PTDI) harus dikorbankan. Subsidi dicabut, karyawan dipecat besar-besaran. Padahal, Habibie baru 14 bulan jadi presiden.

Habibie gak mau nyerah. Dia terus berjuang buat hidupin lagi proyek N250. Dari 2005 sampai 2009, tim ahli penerbangan coba yakinin pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, tapi gagal. Setiap usaha selalu kebentur aturan penghematan IMF. Cari dana dari swasta juga susah.

Tapi, Habibie gak pernah nyerah. Insinyur jenius lulusan Jerman ini pernah bilang, dia cuma pengen bikin pesawat terbang. N250 yang jadi korban “bailout” bikin dia sakit hati. Dia percaya, penguasaan teknologi dan infrastruktur yang bagus bisa bikin Indonesia maju dan kaya merata.

Dari N250 ke R80

Tahun 2011, tim Habibie beralih ke proyek R80. Mereka kerja sama dengan Turkish Aerospace buat bikin desain aerodinamis, struktur, dan sistem arsitektur. RAI juga koordinasi sama pemerintah dan PTDI. Kata Agung Nugroho, mereka cuma mau bikin sesuatu yang layak diterusin sama pemerintah. Pesawat ini bukan buat RAI, tapi buat pemerintah dan PTDI.

Sayangnya, dana negara gak ada. Tapi, proyek R80 masuk daftar proyek strategis nasional (PSN), yang lebih ke arah politis. Rencananya, R80 terbang tahun 2018, 23 tahun setelah N250. Tapi, pas Habibie meninggal tahun 2019, R80 belum juga terwujud.

Harapan yang Sempat Muncul, Lalu Redup

Sempat ada harapan dari Rusia. Mereka mau investasi 700 juta dolar AS, tapi dengan syarat bisa masuk pasar Indonesia. Walaupun ada teknologi Rusia di prototipe R80, komponen utamanya tetap impor dari Barat. Kata Nugroho, ini biar pesawatnya lebih laku.

Tapi, pas semua udah siap, pandemi COVID-19 datang, disusul invasi Rusia ke Ukraina yang bikin Rusia kena sanksi. Tahun 2021, pemerintah hapus status PSN R80. Padahal, RAI butuh 3 miliar dolar AS buat bikin prototipe di PTDI.

Ilham Habibie, putra Habibie, bilang dana buat hidupin lagi proyek ini gak cukup. RAI cuma dapat 9 miliar rupiah dari sumbangan publik. Ini nunjukin minat masyarakat kurang. Padahal, menurut IATA, Indonesia pasar penerbangan dengan pertumbuhan tercepat kedua di dunia setelah Cina.

Pesawat turboprop kayak ATR 72 dan Bombardier Q400 laris manis di Indonesia. Ini sesuai prediksi Habibie di tahun 90-an. Tapi, Habibie pasti sedih lihat Embraer E190, pesawat mirip N2130 (pesawat rancangan Habibie juga), jadi pemimpin pasar. Perusahaan lain kayak Mitsubishi, Comac, Bombardier, dan Sukhoi juga coba masuk pasar pesawat regional.

PTDI Tetap Berkarya

PTDI sempat dinyatakan bangkrut tahun 2007, tapi dibatalin sama Mahkamah Agung. Mereka terus produksi CN 235, NC212, dan N219, varian 19 kursi dari Casa 212 buatan Spanyol. PTDI juga lagi cari lisensi produksi CN295 dari Airbus.

PTDI dan pendahulunya, IPTN, udah bikin 466 pesawat dan helikopter. Karyawan mereka juga bikin komponen buat Airbus dan Eurocopter. Beberapa mantan karyawan yang dipecat tahun 1999 kerja di Airbus, Boeing, Embraer, dan industri dirgantara Turki.

N250, Simbol Mimpi yang Tak Terwujud

N250 sendiri sekarang jadi pajangan di Museum Dirgantara Yogyakarta. Ilham Habibie berharap pesawat ini bisa jadi simbol kemampuan Indonesia bikin pesawat sendiri. Tapi, pas ditanya soal kemungkinan proyek ini dihidupkan lagi, dia bilang, “Saya optimis, tapi juga realistis.”

Sayang banget, mimpi besar Habibie harus kandas. Tapi, semoga semangat dan visinya bisa jadi inspirasi buat generasi penerus.